Kritik Implementasi B35, Faisal Basri: Ada Penghematan Devisa, tapi Ongkosnya Lebih Besar Jadi Minus

foto

TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menepis klaim pemerintah bahwa implementasi program biodiesel B35 dapat menghemat devisa. Biodiesel B35 merupakan bahan bakar dengan presentase pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) sebesar 35 persen.

Menurut Faisal, program tersebut justru memiliki ongkos yang besar. “Sangat tidak benar kalau dikatakan ada penghematan devisa. Ada penghematan devisa, tapi ongkosnya lebih besar jadi minus,” kata dia dalam webinar yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023.

Baca: Minyak Goreng Langka, Faisal Basri: Masalahnya Pemerintah Sembrono Menetapkan Dua Harga CPO

Faisal pun memberikan sebuah analogi yang menggambarkan kerugian akibat implementasi biodiesel B35. Misalnya, seseorang yang biasanya membeli makanan di luar hanya membutuhkan uang sebesar Rp 75 ribu, tetapi ketika memutuskan masak di rumah, biayanya naik karena berbagai kebutuhan hingga Rp 100 ribu. “Jadi kan tidak menghemat itu namanya,” kata dia.

Ia menekankan untuk melakukan penghematan, caranya bukan hanya dengan menghentikan impor solar lalu menggantinya dengan biodiesel B35. Terlebih, tersedotnya penjualan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke produsen biodiesel membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk melakukan ekspor.

“Nah itu kalau dihitung semua, kita minus bukan menghemat. Jadi kalau kita bernegara dan berbangsa itu menggunakan konsep oppurtunity cost, bukan konsep satu sisi saja,” ucapnya.

Tidak hanya itu, kata Fasial, program tersebut juga menimbulkan masalah lainnya, seperti kelangkaan minyak goreng yang terjadi kembali tahun ini. Pasalnya, pemerintah menetapkan dua harga jual CPO, yakni untuk biodiesel dan industri pangan. Namun, dua harga itu tidak setara lantaran harga jual untuk biodiesel lebih tinggi ketimbang untuk industri pangan, termasuk untuk minyak goreng.

Alhasil, pengusaha sawit akan lebih tertarik menjual CPO ke produsen biodiesel yang menawarkan harga lebih tinggi. Terlebih bagi pengusaha yang memiliki kedua industri itu. Selain itu, ada insentif yang diberikan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk penjualan CPO ke biodiesel B35.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan penghematan devisa dari implementasi program biodiesel berbasis sawit terus bertambah.

Pada program B30 tahun 2020, ia mengklaim terjadi penghematan devisa mencapai US$ 2,64 miliar atau Rp 38,04 triliun. Kemudian pada B30 tahun 2021, penghematan devisa diklaim mencapai US$ 4,62 miliar atau Rp 66,54 triliun. Lalu pada program B30 tahun 2022, penghematan devisa diklaim melonjak hingga US$ 8,34 miliar atau Rp 122,56 triliun. Terakhir, tahun ini pemerintah mengklaim implementadi program B35 Bakal menghemat US$ 10,75 miliar atau Rp 161,25 triliun.

Edi juga menyebutkan biofuel ini penting untuk mencapai target perluasan pasar hilir sawit. “Dengan adanya program ini, membuat keseimbangan antara suplai dan demand CPO sehingga menstabilkan harga CPO.

RIANI SANUSI PUTRI

Baca: YLKI Sebut Larangan Penjualan Rokok Ketengan Bakal Mengikis Dua Hal Ini

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *